Geng Motor
Syahdan di suatu malam saya dan seorang kawan sedang nongkrong di  
sebuah warung tenda menikmati menu oseng-oseng mercon di pinggiran jalan
  yang dekat dengan persimpangan. Belum habis menu yang kami santap,  
beberapa anak muda penunggang motor bersliweran memamerkan suara  
motornya yang nggak merdu namun sangat berisik, benar-benar mengoyak
  ketenangan dan menyayat keheningan. Ada yang single, ada juga yang  
boncengan. Ada yang pake helm, yang nggak pake juga ada. Terkadang  
standar didorong dengan kaki sampai menyentuh aspal untuk menimbulkan  
percikan api. Anak muda..anak muda.. rupanya mereka tidak sedang (atau  
belum) balapan, mereka hanya thawaf berputar-putar mengelilingi blok  
demi aktualisasi diri. Lumayanlah, deru motor itu menjadi musik  
pengiring makan malam kami.
Selesai
 makan, saya bertanya kepada kawan, andai ada salah satu dari mereka 
yang jatuh nyemplung ke gorong-gorong  dan jatuhnya dekat dengan dia, 
apakah dia akan menolongnya? Kawan saya  menjawab tidak. Pertanyaan itu 
saya ulang lagi, kali ini buat diri  sendiri. Dan jujur, jawaban saya 
pun sama, saya tidak akan membantu  kalau ada ugal-ugalaners yang jatuh.
 Wow…saat itu juga saya merenung dan  saya agak terkejut, ternyata saya 
tidak lebih baik dari mereka yang  ugal-ugalan di jalan, saya nggak ada 
bedanya dengan mereka, sama-sama  brengseknya, bahkan mungkin lebih 
brengsek. Karena, apakah otomatis saya  ini jadi orang yang lebih baik 
dari mereka jika saya bersorak  kegirangan jika ada dari mereka yang 
ndelosor, “horee…sukurin loe”.  Kalau anak-anak muda itu tidak peduli 
dengan lingkungan dan masyarakat  sekitar yang sedang beristirahat atau 
ingin menenangkan diri di malam  hari, saya juga nggak peduli dengan 
orang yang sedang kesusahan,  walaupun itu akibat ulahnya sendiri. Kalau
 anak-anak muda itu  blak-blakan dengan tegas mengungkapkan 
ketidakpeduliannya, kalau saya  sedikit lebih munafik dengan 
berpura-pura menjadi manusia yang baik dan  yang peduli dengan 
lingkungan, padahal saya lebih keji. Ternyata saya  bukan pria u-mild, 
apalagi orang baik, mendekati pun nggak.
Preett
Kalau
 ada cewek atau cowok ditanya tentang apa yang disuka dari  pasangannya,
 jawaban mbelgedesnya, “dia itu orangnya baik, pengertian,  setia, blah 
blah blaa….” (preeeet). Dan setelah beberapa minggu pacaran,  “kamu 
sekarang sudah berubah, aku kangen kamu yang dulu, dan blah blah  
blah….” (preeet dua kali, padahal mungkin aslinya dia udah bosen).  
Itulah kebaikan  yang semu, cuma jadi kamuflase untuk memikat orang 
lain. Baik cuma  kalau ada maunya. Setelah mau didapat, sikap baik pun 
lenyap.
Pernah nggak nonton film dimana pada akhir cerita 
si jagoan ternyata  lebih memilih untuk memaafkan si musuh daripada 
menghabisinya, padahal  si musuh ini jahatnya uleng-ulengan, contohnya 
film Kungfu Hustle. Kalau  boleh jujur, saya sendiri gregetan, kenapa 
gak dihabisin aja tuh  musuhnya, bisa-bisa entar bangkit lagi dan 
menyerang balik si jagoan.  Nah…itu satu lagi bukti kalau saya ini belum
 jadi orang baik. Kalau saya  punya hati yang baik, tentu saya akan 
senang dan bangga sama si jagoan  yang pemaaf. Bahkan di pertengahan 
film saya sudah berharap kalau ada  adegan maaf-maafan (kayak pas 
lebaran gitu…  ) di ending-nya. Namun nyatanya saya nggak sebaik itu (atau 
belum kali  ya). Bahkan saya ini orangnya pendendam. Sekali ada nyamuk 
nemplok di  kulit, saya nggak akan tidur sebelum darah nyamuk itu 
muncrat, kalau  perlu saya bikin penyok tu nyamuk pake jurus tapak budha
 turun dari  langit.