April 22, 2019

Jangan Selamatkan Bumi

Hari ini tanggal 22 April di Indonesia diperingati sebagai hari bumi, jadi saya ingin mengucapkan selamat hari bumi, tapi saya bingung ucapan itu harus saya tujukan kepada siapa, atau barangkali ke mana. Kepada bumi atau kepada seluruh makhluk hidup yang berkembang biak di atas bumi, atau kepada dua-duanya. Kalau hari kartini diperingati oleh seluruh perempuan Indonesia untuk mengenang jasa, semangat dan pengorbanan ibu kita kartini, terus apakah hari bumi diperingati oleh manusia untuk mengenang bumi? Bumi kan belum tamat riwayatnya, kenapa juga harus diperingati? Di mana-mana banyak slogan “SAVE THE EARTH”, “SAVE OUR PLANET”, “SAVE THE PLANET EARTH”, dan slogan-slogan senada yang intinya berupa ajakan untuk menyelamatkan bumi. Lho emangnya bumi mau ‘the end‘ sampai perlu diselamatkan?


Sejarah memang telah bercerita kepada kita bagaimana bumi kita sering berada dalam situasi yang darurat, baik lewat kisah (yang konon katanya) nyata atau lewat kisah sci-fi hasil imajinasi pendekar hollywood. Ada kisah di zaman Nabi Nuh tentang bencana air bah yang belum ada tandingannya sampai sekarang, jatuhnya asteroid raksasa di Chixulub (Meksiko) yang konon katanya menimbulkan gempa di atas 10 SR, menciptakan tanah longsor seluas benua dan menyebabkan kepunahan lebih dari separuh spesies di planet bumi (termasuk kepunahan dinosaurus).

Dari hasil imajinasi pendekar film juga ada kisah tentang bumi yang bernostalgia ingin mengalami lagi zaman es lewat film “The day after tomorrow”, bumi yang nyaris disowani asteroid di film “Armageddon” atau bumi yang mengalami pembalikan kutub dan bergesernya permukaan daratan lewat film “2012”. Semuanya menceritakan tentang prediksi kehancuran bumi. Ahli astronomi mencurigai adanya planet X atau nibiru, planet ke-12 dalam sistem tata surya kita yang bisa menimbulkan meningkatnya aktivitas vulkanik, pembalikan kutub jika melintas mendekati bumi dan mengakibatkan kepunahan sebagian besar spesies manusia. Ahli lingkungan yang menganggap telah terjadi perubahan iklim dan pemanasan global yang diprediksi akan mengakibatkan hilangnya lapisan es abadi di kutub utara dan kota-kota di pesisir pantai menghilang dari peta. Semua terdengar begitu dramatis, hingga kita tak ragu menyuarakan “SAVE THE EARTH!”.

Tapi meski begitu, bumi kita ini tetap tangguh, tahan banting dan tidak cengeng. Benar-benar selera pemberani, seperti di iklan rokok lokal. Dari letusan Toba yang super dahsyat sampai gempa bumi plus tsunami yang baru saja terjadi di Palu. Itu bukan apa-apa. Dalam teori Gaia, bumi memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga keadaan ‘tubuh’-nya agar tetap fit dan siap lembur. Bumi tak membutuhkan manusia untuk menjaga eksistensinya, tapi justru manusialah yang menggantungkan hidupnya pada bumi. Membuang sampah plastik sembarangan sama sekali tak akan membuat kesehatan bumi terganggu. Melegalkan illegal logging tidak akan membuat bumi kena ‘masuk angin’. Menumpahkan minyak mentah di laut lepas tidak akan membuat bumi ‘sakit kepala’. Menghasilkan sebanyak-banyaknya gas CO2 juga tidak akan membuat bumi ‘meriang’. Semua tindakan itu hanya akan mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, bukan bumi. Tapi kenapa justru manusia yang berlagak ingin menyelamatkan bumi, seolah-olah bumi tak bisa eksis tanpa kehadiran manusia?

Bukannya saya mendukung kapitalisme untuk terus melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam. Cuma mengingatkan saja, bahwa apa yang umat manusia lakukan terhadap alam, bisa dilakukan oleh alam terhadap manusia. Dan slogan “Save the earth” menurut saya kurang tepat dalam konteks menghindarkan bumi dari kerusakan yang ujung-ujungnya menyengsarakan kehidupan manusia. Justru manusialah yang harus diselamatkan agar terhindar dari tindakan-tindakan eksploitasi alam yang destruktif, yang bisa mengancam kehidupan generasi yang akan datang. Alih-alih menyuarakan gerakan untuk menyelamatkan bumi, manusia sebenarnya hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2015 ExcelPix All Right Reserved
Shared by Themes24x7